Entri Populer

Thursday, December 30, 2010

Standar

Blog ini dibuat sebenarnya atas dasar 'kejar setoran'.

Teman-teman twitter yang pertama bertemu di timeline dan kemudian tweet up di acara nobar memiliki ide untuk membuat Indonesian Movie Blogger Award.

Saya melihat ada itikad baik untuk saling membagi, berdiskusi dan beradu argumentasi mengenai film,  which would be good for everyone. Itulah sebabnya saya meminta salah seorang pemrakarsa acara ini untuk mengikutsertakan saya. Basa-basinya waktu itu saya memang sedang dalam proses membuat blog. Kini blog sudah ada, masih ada kewajiban mengisi polling nominasi.

Pertanyaannya kini, standar apa yang saya pakai menentukan bagus-buruknya sebuah film ? Sebuah pertanyaan sederhana, tapi punya berbagai versi jawaban.

Menurut mendiang Asrul Sani, film bagus adalah film yang saat menonton pertama kita mendapatkan 'A' dan saat menonton kedua mendapat 'B'.

Setuju.

Kritikus Roger Ebert bilang di salah satu pembukaan Great Movies-nya. "Film bagus adalah film yang saya tidak ragu menontonnya di bioskop saat ini juga bila sedang ditayangkan."

Not a bad definition.

Teman saya yang amat maniak nonton dan fasih membedah seluruh aspek film, tapi mengekeret saat diajak bergabung di soc-med manapun punya teori ;  "Film bagus ialah film yang di saat  belum sampai reel pertama selesai --10 s/d 15 menit pertama-- gue sudah jatuh cinta dan memutuskan akan menonton film ini lagi secepatnya."

Benar juga.

Lalu mana yang saya jadi patokan ? Terus terang, saya tidak pernah punya standar yang baku.  Saya sempat tulis dua hal di twitter saat menaruh #Best2010Movies. Elaborasinya kira-kira demikian : 1. A good movie should make  make me ignore checking at my watch or noticing the exit door during its entire duration ; 2. A good movie should not be like slurpee, that can only quench your thirst. It should be like wine that leaves an after taste, long after you've seen it.

Transportasi dan Resonansi. Itulah yang membuat sebuah film bagus di mata saya. Transportasi membawa saya ke dunia, masa dan permasalahan baru. Resonansi di saat  emosi tersentuh dan pencerahan diperoleh tidak hanya di saat menonton tapi saat kembali ke dunia sehari-hari.

Dan satu lagi : magic.  Terus terang, beban sebuah film untuk membuai saya larut tiap hari semakin bertambah. Jutaan jam terbang menonton film membuat saya hapal pada seluruh pakem-pakem film. Ditambah dengan pengalaman membuat film, mendorong saya selalu gatal berbisik pada diri sendiri saat menonton, "Ah, kalau gue yang nulis film ini mestinya di akhir babak kedua ini begini... Mestinya sang tokoh itu karakternya diperkuat begitu. Mestinya mestinya... Begini begitu... Dsb dst....".  Jadi ketika sebuah film bisa membuat saya sama sekali tidak menggubris pakem-pakem dan melupakan dorongan membuat skenario versi saya sendiri... That's magic.

Dan ketiga faktor itulah yang menjadi standar saya menentukan sebuah film bagus.

No comments:

Post a Comment