Entri Populer

Friday, December 31, 2010

Daftar Terbaik - Proses Filmokrasi

Di akhir tahun 2010, para pencinta film menatap balik sekilas untuk menyusun urutan film-film yang mereka anggap terbaik tahun ini. Ada yang membuat daftar berisi 20 terbaik, 15, tapi kebanyakan 10. Beberapa bahkan ada yang mengadakan variasi, membuat daftar "film paling mengecewakan", 'paling mengejutkan", "memberi pengalaman sinematis terbaik" dst...


It's fun. Membandingkan  daftar film terbaik antara teman bisa menjadi cara efisien untuk melihat kembali film-film menarik yang terlewatkan. Saya dan teman saya sepanjang tahun bisa saja saling memberi rekomendasi film dan tetap miss (karena faktor waktu, tidak sempat mengejar film yang direkomendasikan, sibuk dsb). Tapi saya tahu di akhir tahun, saat masing-masing mengeluarkan Daftar Film Terbaik,  kembali kita, para pencinta film, kembali bersatu.

Bagai sebuah pesta demokrasi, Daftar Film Terbaik menggambarkan refleksi diri kita sebagai moviegoer. Sepuluh, lima belas, duapuluh... berapapun jumlah film terbaik, kita seleksi sebaik mungkin. Saat kita duduk menyusun daftar, kita tersenyum-senyum sendiri mengingat kenangan yang diberi pada tiap film yang pantas hadir mendapat predikat 'lebih'.  Diskusi kenapa film jagoan saya tidak sama dengan teman-teman, selalu kembali membuka apresiasi film. Sama halnya kalau kita membuat Daftar Film Terburuk, karena sebenarnya tidak ada film yang secara sadar dibuat buruk. Yang ada kita, para moviegoer,  memiliki 'kepluralan selera'.

Akhir tahun menjadi saat untuk berpesta film. Yeah, masih ada Academy Awards di Maret-April, tapi di saat itu pemilihan film sudah terkotak-kotak oleh kampanye dan hype yang mengikuti patokan industri film Hollywood. Film-film macam How To Train Your Dragon, Alice In Wonderland, Sang Pencerah, The Karate Kid mungkin sudah tidak dapat bersanding dengan frontrunner macam The Social Network, The King's Speech, Black Swan dll. Karena itu nikmatilah saat kini. Saat di mana Daftar Film Terbaik menjadi kandidat dan jagoan masing-masing di perbincangan film. Di mana kriteria pemilihan tidak berdasar prestise semata tapi berdasar dari hati.

Filmocracy, indeed. 

Thursday, December 30, 2010

Standar

Blog ini dibuat sebenarnya atas dasar 'kejar setoran'.

Teman-teman twitter yang pertama bertemu di timeline dan kemudian tweet up di acara nobar memiliki ide untuk membuat Indonesian Movie Blogger Award.

Saya melihat ada itikad baik untuk saling membagi, berdiskusi dan beradu argumentasi mengenai film,  which would be good for everyone. Itulah sebabnya saya meminta salah seorang pemrakarsa acara ini untuk mengikutsertakan saya. Basa-basinya waktu itu saya memang sedang dalam proses membuat blog. Kini blog sudah ada, masih ada kewajiban mengisi polling nominasi.

Pertanyaannya kini, standar apa yang saya pakai menentukan bagus-buruknya sebuah film ? Sebuah pertanyaan sederhana, tapi punya berbagai versi jawaban.

Menurut mendiang Asrul Sani, film bagus adalah film yang saat menonton pertama kita mendapatkan 'A' dan saat menonton kedua mendapat 'B'.

Setuju.

Kritikus Roger Ebert bilang di salah satu pembukaan Great Movies-nya. "Film bagus adalah film yang saya tidak ragu menontonnya di bioskop saat ini juga bila sedang ditayangkan."

Not a bad definition.

Teman saya yang amat maniak nonton dan fasih membedah seluruh aspek film, tapi mengekeret saat diajak bergabung di soc-med manapun punya teori ;  "Film bagus ialah film yang di saat  belum sampai reel pertama selesai --10 s/d 15 menit pertama-- gue sudah jatuh cinta dan memutuskan akan menonton film ini lagi secepatnya."

Benar juga.

Lalu mana yang saya jadi patokan ? Terus terang, saya tidak pernah punya standar yang baku.  Saya sempat tulis dua hal di twitter saat menaruh #Best2010Movies. Elaborasinya kira-kira demikian : 1. A good movie should make  make me ignore checking at my watch or noticing the exit door during its entire duration ; 2. A good movie should not be like slurpee, that can only quench your thirst. It should be like wine that leaves an after taste, long after you've seen it.

Transportasi dan Resonansi. Itulah yang membuat sebuah film bagus di mata saya. Transportasi membawa saya ke dunia, masa dan permasalahan baru. Resonansi di saat  emosi tersentuh dan pencerahan diperoleh tidak hanya di saat menonton tapi saat kembali ke dunia sehari-hari.

Dan satu lagi : magic.  Terus terang, beban sebuah film untuk membuai saya larut tiap hari semakin bertambah. Jutaan jam terbang menonton film membuat saya hapal pada seluruh pakem-pakem film. Ditambah dengan pengalaman membuat film, mendorong saya selalu gatal berbisik pada diri sendiri saat menonton, "Ah, kalau gue yang nulis film ini mestinya di akhir babak kedua ini begini... Mestinya sang tokoh itu karakternya diperkuat begitu. Mestinya mestinya... Begini begitu... Dsb dst....".  Jadi ketika sebuah film bisa membuat saya sama sekali tidak menggubris pakem-pakem dan melupakan dorongan membuat skenario versi saya sendiri... That's magic.

Dan ketiga faktor itulah yang menjadi standar saya menentukan sebuah film bagus.

Dalam nostalgia musik : bunga, cium, sesuatu dan mata

Sudah fakta bahwa pecinta musik apapun pasti pernah hanyut dibuai musik Elvis dan The Beatles. Ini sama pastinya dengan 'maut dan pajak'. Catatan sejarah saya menikmati musik tidaklah seektensif Cameron Crowe (there's that name again) karena,  tidak seperti buku dan film, orang tua saya tidak terlalu menularkan kegemaran menikmati musik mereka ke saya. Paling tidak, influence musik mereka tidak sebesar film.

Khusus untuk musik, sosok yang mempengaruhi saya di masa kecil adalah mendiang nenek. Sejak saya umur 2 tahun, nenek selalu mengajarkan saya menyanyi. Tidak ada lagu Baa Baa Black Sheep waktu diajarkan, melainkan lagu Garuda Pancasila, lagu pop Bunga Mawar The Mercy's, Kiss Me Quick-nya Elvis Presley dan Something-nya The Beatles.





Nenek bilang saya kalau ikut menyanyikan Bunga Mawar itu sampai peluh saya keluar --ekspresi luar biasa untuk anak 3 tahun waktu itu, tentu saja.



Lalu mengenai Elvis, kesan yang paling dalam yang saya bawa adalah ucapan nenek bahwa "Dia penyanyi kulit putih bersuara negro"... Kelak ketertarikan saya pada musik soul selalu terngiang pada kata-kata nenek.



Dan Something ? Nenek selalu bilang saya selalu berceloteh "Se-ting nek... Se-ting" saat lagu ini muncul di radio 2 band yang kami miliki. Aneh, karena ini bukan lagu paling melodius yang diciptakan oleh The Beatles. Salah satu yang paling dalam, mungkin, tapi bukan yang paling catchy --paling tidak buat anak balita.


Apa yang diambil dari sini ? Saya baru sadar setelah dewasa dan saat saya makin selektif memilih musik : sejak kecil nenek mengajari saya untuk mendengar dari hati. Mungkin sengaja atau tidak, tapi begitulah cara nenek memperkenalkan musik ke cucunya. Ketika saya beranjak dewasa, nenek sering mencibir sinis pada lagu new wave atau punk rock yang tidak jelas... Sebuah pendapat yang dulu sering saya anggap generation gap... Paling tidak sampai nenek memuji lagu Spanish Eyes dari Gerard Joling yang reputasinya tentu tidak bisa disejajarkan dengan Elvis atau The Beatles... tapi di lagu itu menyanyi dengan hati. Sama sepeti Elvis. The Beatles. The Mercy's


Terima kasih nenekku tercinta yang telah mengajarkan bahwa mendengar tidak hanya dengan telinga.   Bahwa indera tertinggi untuk meresapi melodi adalah dengan hati.

Catatan khusus : suka lagu klasik dan opera walau tidak paham bahasa pengantarnya ? Itulah mendengar dengan hati.

Dalam nostalgia film : di hutan di dalam bioskop

Kecintaan pada film telah membawa saya melewati fase kehidupan.  Kalau seorang Cameron Crowe mengakui bahwa di titik-titik terpenting hidupnya ia selalu ingat persis musik apa yang menjadi pengiring emosi di latar belakangnya, bagi saya film menjadi hal yang sama. They're the post-its of my memories.

Tentu saja, saya tidak akan pernah ingat musik apa yang menemani saya di saat saya lahir, tapi memiliki orang tua yang mencintai film, saya cukup merasa beruntung masa kecil saya dikenalkan pada tempat yang menjadi tempat hiburan, pelarian, pengumpul imajinasi dan oase sekaligus. Tempat itu adalah bioskop.

Menghabiskan masa kecil di Denpasar, Bali, saya selalu diajak bapak dan ibu melihat film terbaru yang sedang ditayangkan di salah satu dari 5 bioskop di sana. Sejak awal dikenalkan pada bacaan dan buku dongeng, terutama yang berbahasa inggris, film animasi menjadi langkah berikut bagi pendidikan dini saya. Dan film pertama yang saya ingat saya tonton adalah The Jungle Book. Tepatnya, di Indra Theatre di Denpasar, saya bersama ibu dan bapak menonton film produksi Walt Disney ini.




Kenangan menonton film ini samar, tapi saya ingat sekali pembukaan film yang waktu itu terkesan membosankan. Saya ingat meringkuk takut ketika Kaa sang ular matanya menyala-nyala. Saya ingat Balloo dan Mowgli berjoget-joget dengan melodi lincah... Dan yang paling tak terlupakan : saya ingat adegan akhir di mana Shere-Khan sang harimau terperangkap dan berlari-lari di hutan penuh api.  Imaji api menyala-nyala mengurung Shere-Khan selamanya tertanam di benak bocah kecil yang di dalam kegelapan teater terpaku matanya ke layar lebar.



My movirginity is gone in that jungle (bad pun ? yeah)

Setelah film itu saya masih memiliki The Jungle Book dalam berbagai versi.  Di pertengahan tahun 80'an paling tidak bapak membelikan dua buah video beta. Lalu saat Laser Disc menjamur, film itu termasuk kepingan laser yang saya beli dengan uang sendiri. Dan saat DVD ? Paling tidak tiga kopi saya membelinya.

Ribuan film telah saya tonton dan ratusan animasi saya nikmati setelah siang di bioskop itu... Tapi saya tidak akan pernah melupakan Mowgli, Baloo dan Shere-Khan yang berlari, bernyanyi, berburu, bercanda... dan singkatnya menaruh bibit kecintaan pertama saya pada film.

Catatan khusus : Walt Disney... The best uncle a family can have. 

Datang di dalam proses

Memenuhi keinginan sejak lama untuk blogging, dimunculkanlah di blog super sederhana ini. Tema beragam, tapi jangan letih kalau banyak berputar tentang film, tv, buku, musik dan komik.

Yep, it'll be filled with pop culture musings, some reviews and (mostly gibberish) analysis.

Tidak mencoba dalam, tidak mencoba cerewet, karena semua yang dibahas merupakan bagian dalam proses. Maksudnya, walau sudah 10 tahun lebih menjadi pekerja seni dan 20 tahun lebih menjadi pengamat, at the end of the day, I've been a movie/tv/music/comicbooks fan for life.

Dan bagi seorang fan, semua kenikmatan adalah proses. Musik tidak selesai setelah track habis. Film tidak usai setelah keluar dari bioksop. Komik tetap memberi kesan setelah dikembalikan ke dalam rak.

Kapan proses selesai, I dunno. Tapi yang jelas  membagi dan membicarakan karya akan membuat apresiasi karya-karya tersebut makin dalam.

Salam, dan mulailah berproses


30 Desember 2010